Thursday, January 01, 2009

Taiwan (insert)

Cerita saya sebelumnya adalah rincian perjalanan saya selama di Taiwan. Nah, sekarang saya ceritakan kondisi di Taiwan, mulai dari fasilitas umum, orang-orangnya, sampai mesjid yang ada di Taiwan.

MRT

Kondisi di Taiwan kurang lebih hampir sama dengan kondisi di Hongkong. Fasilitas umum benar-benar dijaga dan memiliki service yang bagus, kita juga tidak akan melihat sampah berserakan di sepanjang jalan atau melihat orang membuang sampah sembarangan di jalan. Masyarakat yang cukup disiplin dan bertanggung jawab (ini dia nih salah satu 7 Budi Utama ESQ J). Lihat saja arah panah di stasiun MRT (kereta bawah tanah), dimana arus untuk penumpang masuk dan keluar MRT sudah ditentukan sehingga tidak akan saling bertubrukan atau rebutan. Mereka sangat rapi dan teratur mengantri untuk masuk ke dalam MRT.

Selama di Taipei dan Kaohsiung saya menggunakan transportasi ini karena naik MRT sangat nyaman dan tidak akan takut nyasar, di dalam MRT suasananya aman dan bersih tidak ada sampah berserakan juga tidak ada orang yang merokok. Tentu saja, karena kita dilarang merokok dan makan atau minum bahkan mengunyah permen karet di dalam MRT atau di area stasiun, jika ketahuan akan dikenakan denda sebesar 1500 NT (sekitar 500 ribu rupiah). Di setiap gerbong terdapat 4 tempat duduk berwarna biru tua yang disediakan khusus untuk orang tua, ibu hamil, anak-anak atau orang cacat. Nah, kalau ada orang dengan kategori ini, kita harus berikan kursi itu ke mereka. Ada lagi, di dalam stasiun ada ruangan khusus yang disediakan untuk menyusui bayi, oke banget kan.

Tempat Parkir

Rata-rata masyarakat Taiwan menggunakan transportasi sepeda motor (yang saya lihat kebanyakan pengguna Jet Matic) atau sepeda untuk jarak dekat. Sementara untuk jarak jauh, sepeda motor atau sepeda tersebut di parkir di dekat stasiun atau terminal untuk kemudian melanjutkan dengan MRT atau bus. Nah, untuk tempat parkir, bisa diparkir dimanapun selama ada rambu tanda parkir (biasanya di trotoar), bahkan di depan toko meskipun kita tidak berniat membeli di toko tersebut (kalau di Indonesia mah, belum apa-apa udah ada larangan, “Dilarang parkir selain pembeli” J). Asyiknya lagi, disini tidak ada tukang parkir, jadi tidak dikenakan biaya parkir, asal dikunci dan diletakkan dengan benar, insya Allah aman. Tapi, kalau kita sampai parkir di sembarang tempat yang tidak ada rambu tanda parkirnya, jangan heran kalau tiba-tiba kendaraan kita hilang dan kita harus mencarinya di antara ratusan sepeda motor dan sepeda yang diangkut petugas karena parkir sembarangan.

Jalur Kiri untuk Jalur Cepat

Kemudian, di Taiwan, orang sebaiknya menggunakan jalur kanan baik di trotoar, tangga maupun tangga berjalan. Jika kita ingin berjalan lambat atau diam di tangga berjalan, maka kita harus berada di jalur kanan, karena jalur kiri adalah jalur cepat untuk orang yang ingin mendahului. Hal ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi orang yang sedang terburu-buru atau ingin cepat-cepat, sehingga terlihat tertib. Kadang-kadang sistim punishment memang cukup efektif untuk merubah perilaku seseorang, tapi juga harus didukung dengan kesadaran masyarakat itu sendiri dan ketegasan hukum dari pemerintah.

Melihat peraturan yang diterapkan dengan baik dan kesadaran masyarakat Taiwan yang tinggi ini, membuat saya tergugah dan berpikir mengapa kita tidak bisa menerapkannya di Indonesia. Taiwan saja yang penduduknya mayoritas non muslim, masyarakatnya bisa sedisiplin itu dan mematuhi setiap peraturan yang ada. Sementara kita di Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim tapi belum bisa melaksanakan hal tersebut, bahkan saya sendiri masih belum bisa seperti itu (kadang-kadang masih suka ngeluh kalo antri, bahkan kalo ada kesempatan untuk mendahului, ya serobot aja..he..he..). Jadi termotivasi untuk melakukan perubahan pada diri sendiri. Yup, jika ingin merubah dunia, harus mulai dari diri sendiri dulu kan.

Masjid di Taiwan

Cukup banyak buruh migran muslim yang tinggal di Taiwan termasuk dari Indonesia, berdasarkan data dari KDEI dari 105.000 orang TKI yang berada di Taiwan, mayoritasnya adalah muslim. Sementara, untuk pelajar muslim Indonesia masih sangat sedikit, sekitar 50-70 orang. Dengan jumlah TKI muslim sebesar itu, masjid-masjid di Taiwan menjadi sangat ramai dikunjungi terutama pada hari besar Islam dimana sekitar 60% jama’ah masjid adalah warga muslim Indonesia.

Terdapat 6 masjid di Taiwan yang tersebar di 5 kota besar yaitu Masjid Besar (Taipei Grand Mosque) dan Masjid Kecil (Taipei Cultural Mosque) di Taipei, Masjid Taichung, Masjid Long Gang di Chung li, Masjid Kaohsiung, dan Masjid Tainan. Salah satu masjid yang ada, dikelola oleh warga muslim Indonesia secara penuh, yaitu Taipei Cultural Mosque atau yang biasa disebut Masjid Kecil. Dinamakan masjid kecil karena bangunannya hanya seluas kira-kira 8 x 4 m2. Terdiri dari 5 lantai, lantai basemen biasa digunakan untuk pengajian, makan bersama, karena disini terdapat dapur. Lantai 1, 2, dan 3 digunakan untuk aktifitas keagamaan, lantai 2 adalah tempat shalat untuk pria sementara lantai 3 adalah tempat shalat untuk wanita dan di tiap lantai ini terdapat kamar mandi, sedangkan lantai 4 digunakan sebagai sekretariat dari 2 organisasi Islam warga Indonesia antara lain MTYT (Majelis Ta’lim Yasin Taipei) dan FORMMIT (Forum Mahasiswa Muslim Indonesia Taiwan). Di Masjid ini dulu pernah ada organisasi pemuda muslim Taiwan (Chinese Moslem Youth), tapi sekarang sudah tidak terlihat lagi aktivitas organisasi tersebut. Dari cerita temanku, Masjid ini selalu ramai dikunjungi warga Indonesia dan juga warga muslim dari berbagai etnis pada waktu libur terutama menjelang bulan Ramadhan.

Masjid ini terletak di No.3, Lane 25, Sec 1 Hsin-hai Rd.,Taipei. Untuk sampai ke sana, kita bisa menggunakan MRT dan turun di Tai Power Building lalu keluar melalui pintu exit 1, lalu berjalan ke arah kanan, kira-kira dengan berjalan kaki 100 m kita sudah sampai. Saya sempat berkunjung, numpang tidur sebentar, sholat subuh dan sarapan di sana (berhubung saya sampai di Taipei jam 2 pagi). Menurut cerita temanku, masjid kecil merupakan base camp dari kegiatan mahasiswa muslim dan rekan-rekan TKI, sehingga di mesjid ini terdapat seluruh perlengkapan, termasuk dapur beserta peralatan masak. Bagi pendatang yang kebetulan tidak bisa menemukan tempat bermalam, bisa datang ke masjid ini dan gratis, disini disediakan selimut dan bantal, bahkan kamar mandi. Tapi, ada satu yang harus diperhatikan, di kamar mandi kita tidak boleh buang air kecil. Jika kita ingin buang air kecil atau buang air besar, harus ke toilet yang ada di lantai 5. Setiap pagi pun disediakan sarapan, asal jangan sampai telat bangun karena sarapan disediakan jam 06.30, jika kita kesiangan, ya sudah dibereskan hidangannya. Tapi jangan khawatir, kita bisa memasak sendiri lho.

Sungguh menakjubkan mendengar cerita tentang Masjid Kecil ini, ingin sekali bisa berpartisipasi meramaikan kegiatan dakwah di masjid ini. Namun, sayangnya ketika saya berkunjung ke sana bukan hari libur sehingga tidak ada kegiatan apapun yang bisa saya ikuti. Mungkin, saya harus datang lagi lain kali, mudah-mudahan Allah mengizinkan saya untuk singgah kembali di Negeri Formosa ini, Amin. Ingin jalan-jalan ke Taiwan? Jangan lupa mengunjungi masjid yang satu ini ya.

Taiwan (Day 4)

Day 4 in Taiwan

Salah Tempat

Ternyata, sekitar jam 2 pagi kami sudah sampai di Taipei, lebih cepat dari jadwal. Udara dingin kembali menelusup ke seluruh tubuh. Rencananya kami akan singgah di masjid kecil Taipei untuk istirahat sebentar menunggu pagi sebelum melanjutkan perjalanan, kebetulan teman saya hapal jalan menuju ke sana dengan menggunakan MRT, ternyata begitu kami sampai di MRT station, MRT sudah tutup (kami baru tahu kalau MRT hanya beroperasi sampai jam 24.00), mana udaranya dingin banget, perut lapar, tak tahu bagaimana caranya bisa sampai di masjid kecil, lengkap sudah penderitaanku kali ini.

Akhirnya kami mencoba untuk naik taksi, sudah beberapa taksi yang kami stop namun tak ada satu pun yang tahu dimana letak masjid kecil tersebut, selain karena mereka tidak mengerti bahas Inggris dan bahasa Mandarin kami yang pas-pasan J. Oiya, teman saya memang tidak hapal alamat lengkap hanya ingat patokannya yaitu dekat gedung yaitu Tai Power Building, tapi tak ada satu supir taksi pun yang tahu gedung itu. Heran saya, masa supir taksi tidak ada yang tahu, ternyata karena mereka tahu tempat-tempat di Taipei dalam bahasa Mandarin jadi kalau kita menyebutkan tempat dalam bahasa Inggris, ya mereka tidak akan tahu, meskipun tempat-tempat tersebut ditulis dalam 2 bahasa, cape deh. Sedangkan kami justru sebaliknya, tidak tahu nama tempat tersebut dalam bahasa Mandarin, hanya tahu bahasa Inggrisnya.

Setelah mencoba menghentikan beberapa taksi, akhirnya ada satu taksi yang katanya tahu tempat tersebut, teman saya bilang padanya dalam bahasa Mandarin kalau kami ingin ke tempat berdoa orang Islam yang letaknya dekat Tai Power Building, supir itupun menyanggupi mengantar kami kesana. Kami sedikit lega, namun ternyata di tengah perjalanan, supir itu terlihat bingung, lalu berhenti di suatu tempat dan mengatakan kalau ini tempat yang kita cari, kami pikir sudah sampai tapi begitu kami melihat keluar ternyata kami dibawa ke gereja, waduh salah tempat J. Ternyata dia tidak tahu dan mungkin tidak paham kalau gereja itu untuk orang Kristen dan masjid untuk orang Islam.

Ternyata lagi, dia juga tidak tahu dimana Tai Power Building, dia minta kami menyebutkan nama Mandarin tempat itu. Kami sempat berhenti lama untuk sekedar mencari cara bagaimana supaya supir itu tahu tempat yang kami tuju. Teman saya menelepon Sinta, teman sekamar di asrama, untunglah dia belum tidur jam segini, mungkin dia bisa membantu kami berbicara dengan supir karena bahasa Mandarinnya lebih bagus. Teman saya pun memberikan HP tersebut ke supir, tapi supir tersebut tetap tidak tahu karena Sinta pun tidak tahu nama mandarin dari Tai Power Building.

Supir taksi itu akhirnya menelepon ke seseorang, mungkin kantor pusat taksi tersebut, lalu memberikan HP nya ke saya agar saya bisa bicara dengan orang yang diteleponnya itu. Terdengar suara perempuan yang menyapa saya dalam bahasa Inggris, akhirnya ada juga yang bisa bahasa Inggris. Saya pun memberi tahu kalau saya ingin ke Taipei Cultural Center (masjid kecil Taipei) yang letaknya dekat dengan Tai Power Building, dia pun mengerti dan meminta saya mengembalikan HP tersebut ke supir taksi. Setelah itu terdengar supir taksi bernafas lega karena akhirnya dia mengerti tempat yang kami maksud tersebut…wuihh akhirnya paham juga dia. Kemudian dia menyebutkan nama Tai Power Building dalam bahasa Mandarin (saya lupa namanya apa J).

Setelah sampai di masjid kecil, supir taksi tersebut pun meminta maaf karena tadi sempat salah tempat dan membuat kami berputar-putar dan kami pun tidak perlu membayar taksi sesuai di argo, karena kan kesalahan bukan pada kami, jadi harga di argo dikurangi sekitar 100 NT. Soalnya taksi disini terhitung mahal, begitu kita naik, argo langsung berada di angka 100 NT (sekitar 35 ribuan, kalau taksi di Hongkong 16 HKD atau sekitar 20 ribuan, bandingkan dengan Indonesia yang hanya berkisar Rp 4.000,- s/d Rp 6.000,-), selanjutnya tergantung jarak tempuh.

Alhamdulillah sampai juga di masjid kecil, sesuai namanya, masjid ini memang kecil, karena sudah jam 3 pagi, kami pun masuk ke dalam tanpa bersuara, takut mengganggu yang lain. Kami langsung naik ke lantai 3 (tempat akhwat), ternyata tidak ada orang yang menginap disini, hanya kami berdua. Kami pun langsung membereskan tempat untuk tidur, meskipun disini hanya disediakan selimut, tapi lumayan lah untuk istirahat sebentar sebelum subuh. Udara yang dingin dan suara jendela yang tertiup angin membuatku tak bisa tidur lelap, ditambah lagi ruangan yang gelap, saya pikir karena tidak boleh menyalakan lampu, ternyata karena teman saya tidak bisa tidur dengan lampu menyala (saya baru tahu ketika sarapan), please deh.

Ketinggalan Sarapan

Tak terasa alarm HP sudah menyala, sudah masuk subuh, walaupun rasa kantuk yang sangat, saya harus beranjak untuk segera shalat. Selesai shalat, tak kuasa menahan kantuk, akhirnya bisa tertidur juga karena kali ini lampu sudah menyala. Jam 06.30 teman saya membangunkan saya dan bilang kalau di bawah sudah disiapkan sarapan (disini memang selalu disediakan sarapan untuk yang menginap, Subhanallah). Berhubung sudah lapar, saya harus bangun untuk mandi (di lantai 3 kita hanya boleh mandi, tidak boleh buang air kecil, jika ingin buang air kecil atau besar harus di toilet lantai 5). Selesai mandi kami turun ke basement untuk sarapan, sudah terbayang makanan yang akan kami santap, karena kami sudah sangat lapar.

Ternyata, makanan sudah dibereskan, soalnya kami terlambat turun, sarapan disediakan jam 06.30, ketika kami turun sudah jam 8 pagi, ya sudah dibereskan sarapannya. Tapi tenang, teman saya bilang kami boleh masak sendiri kalau ketinggalan sarapan. Akhirnya teman saya memasak mie goreng, ya lumayan lah, sarapan pagi itu terasa nikmat walaupun hanya sepiring mie goreng dan segelas teh manis hangat. Selesai sarapan, rencananya kami akan segera berangkat mengunjungi Taipei 101 lagi dan beberapa tempat sebelum saya kembali ke Hongkong.

Mencari Kunci

Begitu kami naik ke lantai 3, ternyata pintunya terkunci, kami bingung padahal tidak ada orang di dalam dan ketika kami tadi keluar pun tidak mengunci pintunya, bagaimana mungkin pintu itu terkunci dari dalam dengan sendirinya. Ada aja yang aneh-aneh, padahal kami harus bergegas karena waktu saya yang terbatas, paling telat jam 1 siang saya sudah harus berangkat ke Taoyuan airport sementara saya masih ingin mengunjungi beberapa tempat di Taipei. Setelah mencari-cari, kami bertemu dengan seseorang dari Bangladesh, namanya Syarif yang sedang menyapu halaman mesjid. Dia membantu kami mencari kunci tersebut, akhirnya dapat juga dan bisa membuka pintunya. Ternyata, pintu tersebut tertiup angin dengan kencang sampai membuat pintu tersebut terkunci dari dalam.

Chiang Kai Sek Memorial Hall dan Taipei 101

Selesai mengambil barang-barang, kami langsung berangkat ke MRT station, biar lebih mudah untuk pergi ke tempat-tempat yang ingin saya kunjungi. Tempat pertama yang ingin kami kunjungi adalah Chiang Kai Sek Memorial Hall, namun kami sempat bingung dengan arahnya. Kami bertemu dengan sekumpulan mahasiswa yang ternyata mahasiswa dari Malaysia yang sedang studi banding di Taiwan selama 1 bulan, jadi mereka pun tidak bisa membantu kami menunjukkan jalan. Tapi kami senang bisa berkenalan dengan mereka. Setelah mencari tahu akhirnya kami menemukan jalan ke tempat tersebut, disini kami bertemu dengan orang Malaysia lagi yang membantu memotret kami berdua. Kami tidak sempat masuk ke dalam, hanya melihat-lihat dan mengambil gambar di luar saja, karena tempatnya luas sekali, waktu kami tidak akan cukup untuk melihat ke semua gedung yang ada.

Kemudian, kami pergi ke Taipei 101, waktu pertama kali saya tiba disini memang sudah ke sana, tapi kan waktu itu malam hari, sekarang saya ingin lihat gedung itu di siang hari J. Sampai di Taipei City Hall, kami berjalan kaki kembali untuk ke gedung tersebut, wah senangnya bisa melihat gedung itu lebih jelas sekarang, tapi kami tidak sempat masuk ke dalam karena waktu yang terbatas. Setelah berfoto-foto, kami kembali ke MRT station, kali ini kami mencoba menggunakan bis yang disediakan gedung tersebut, yang gratis itu lho, berhubung kami sudah capek jalan dan mengejar waktu juga J. Bisnya cukup nyaman, jadi tidak ingin pulang, sedih juga harus pulang hari ini, meninggalkan Taiwan.

Taoyuan

Sebenarnya saya masih ingin ke beberapa tempat lagi dan mencari souvenir untuk oleh-oleh, tapi waktu sudah tidak memungkinkan, sekarang sudah jam 12 siang. Harus segera ke airport yang jaraknya sekitar 1 jam dari Taipei. Pesawat saya berangkat jam 4 sore, saya tidak mau kejadian di bandara Hongkong terulang kembali, dimana saya harus berlari-lari ke tempat boarding. Jadi, paling tidak jam 2 saya sudah harus sampai airport. Kami pun langsung menuju terminal bis, sempat bingung juga karena tidak dapat-dapat bis ke Taoyuan, setelah mencari dan bertanya ke beberapa tempat, akhirnya ada juga bis ke Taoyuan yang berangkat sekitar jam 13.00.

Sampai di Taoyuan, ternyata bis yang kami naiki tidak sampai ke airport, hanya sampai kota Taoyuan saja. Waduh, kami sempat bingung, sementara sudah jam 2 siang, untuk menuju airport kami harus naik bis yang berbeda. Namun, karena terburu-buru akhirnya kami memilih naik taksi saja biar cepat. Akhirnya sampai juga di airport jam 14.30, kami menghabiskan sekitar 420 NT untuk naik taksi ke airport. Langsung saja saya masuk untuk check ini, Alhamdulillah tidak mengantri, jadi proses check ini cukup cepat. Sebenarnya saya sangat lapar, ingin makan siang dulu dengan teman saya itu sambil menikmati menit-menit terakhir saya di Taiwan J. Tapi, karena khawatir akan lama di imigrasi, kami tidak jadi makan siang, setelah foto-foto sebentar, saya langsung masuk ke tempat boarding. Sebenarnya ada mahasiswa Taiwan yang menghampiri saya untuk mengisi kuesioner tentang tourism Taiwan, tapi saya bilang tidak sempat dan meminta teman saya yang mengisi, maaf sekali ya tidak bisa membantu kalian.

Setelah masuk, ternyata di imigrasi tidak ada terlalu ramai, malah bisa dibilang sepi, pemeriksaan pun tidak seketat di bandara Hongkong. Proses imigrasi berlangsung cepat, jadi jam 3 kurang saya sudah ada di dalam, tempat boarding. Jadi menyesal, kenapa tadi tidak makan siang dulu dengan teman saya dan mungkin masih bisa membantu mahasiswa tadi mengisi kuesioner, mana perut laper banget, untunglah masih ada sedikit cemilan, soalnya di dalam ternyata susah cari makanan, takut tidak halal juga. Waktu take off masih 1 jam lebih, jadi saya berjalan pelan-pelan saja sambil melihat-lihat sekitar. Oiya, ada counter Hello Kitty luas banget, pokoknya Hello Kitty banget, sampai ada telepon umum Hello Kitty, penunjuk jam di beberapa Negara di dunia juga Hello Kitty, lucu banget deh.

Jalan sebentar sudah sampai di tempat boarding pesawat ke Hongkong, jadi sambil menunggu saya mengaktifkan laptop saja supaya bisa online. Lumayan masih harus menunggu 1 jam disini, pengen puas-puasin sih tapi tak ada objek lagi yang bisa dilihat disini. Waktu take off pun tiba, seperti biasa saya duduk di dekat jendela (ketika check in, saya selalu meminta duduk di dekat jendela kalau naik pesawat, biar bisa lihat pemandangan dan memotret), bye bye Taiwan, zaijian, mudah-mudahan nanti masih bisa kembali lagi karena masih banyak tempat yang belum saya kunjungi disini L.

Di sebelah saya duduk seorang wanita kira-kira umur 30an, dia orang Hongkong dan bahasa Inggrisnya bagus jadi kami bisa mengobrol banyak, bagus lah karena saya tidak bisa bahasa Kanton, kalau Mandarin masih ngerti sedikit-sedikit, Kanton saya pikir lebih sulit dari Mandarin karena nadanya lebih banyak, kalau tidak salah ada 12 nada (Mandarin hanya 4 nada). Ternyata dia punya teman orang Indonesia yang tinggal di Jakarta, tapi dia belum pernah ke Jakarta. Jadi saya menceritakan sedikit tentang Jakarta dan Indonesia juga tentang Hongkong selama saya berada disana beberapa hari lalu. Tidak terasa 1,5 jam sudah lewat, kami pun sebentar lagi mendarat di bandara Hongkong.

Finish...

Taiwan (Day 3)

Day 3 in Taiwan

Mengejar Matahari

Saya sangat penasaran dengan sunrise di sana yang diperkirakan muncul pukul 7 pagi. Pukul 5 pagi saya sudah siap-siap untuk berangkat, udara yang sangat dingin, sekitar 3 derajat, seperti berada di dalam kulkas raksasa, tidak menghalangi niat saya bergegas ke stasiun untuk naik kereta ke Chushan (sunrise view point) yang jadwalnya pukul 6 pagi itu. Agak sedikit berlari, selain untuk mengurangi rasa dingin, juga karena udah mau ketinggalan kereta J. Untungnya, penginapan kami dekat dengan stasiun jadi tidak perlu berlari terlalu lama. Setelah membeli karcis seharga 150 NT per orang untuk pergi-pulang (bisa juga membeli tiket one way seharga 100 NT jika kita ingin pulangnya berjalan kaki sambil melihat-lihat Alishan Forest Recreation), kami langsung menuju ke kereta. Alhamdulillah, masih kebagian duduk, walaupun agak sedikit kecewa karena naik kereta yang baru (lho???), soalnya di film yang saya tonton, mereka naek kereta kayu jadi kan lebih berkesan (lagipula di Alishan terkenal dengan kereta kayunya). Ternyata kereta kayu tersebut sedang tidak beroperasi, jadi yang digunakan kereta baru yang terbuat dari besi dan lebih bagus sih J.

Perjalanan menuju Chushan cukup menyenangkan, walaupun teman saya agak sedikit ngeri karena kereta tersebut menyusuri tebing-tebing untuk sampai ke atas, untungnya masih pagi jadi masih gelap, sehingga pemandangan dari ketinggian tidak terlihat dari kereta. Sempat khawatir ketinggalan sunrise, karena sepertinya sudah mulai terang, jadi begitu kereta sampai kami langsung bergegas ke view point. Ternyata masih harus menaiki tangga yang lumayan tinggi dan lumayan jauh, namun karena takut melewatkan moment, mau tidak mau kami harus sedikit berlari lagi ke atas. Alhasil, kami sampai di atas dengan nafas terengah-engah, mana perut lapar lagi karena belum sarapan, udaranya dingin banget, niatnya ingin istirahat sebentar tapi kami harus segera mengambil posisi sebelum tempatnya penuh dengan orang-orang dari berbagai Negara yang juga ingin melihat sunrise di sini, lengkap sudah pengorbanan demi melihat sunrise.

Akhirnya dapat posisi yang bagus untuk menyaksikan pertunjukkan yang sudah dinanti-nantikan itu…ciyeee. Tapi, baru sadar kalau temanku tak ada di samping, ternyata dia beristirahat di belakang karena tidak kuat menahan capek J. Menunggu sunrise di ketinggian kurang lebih 2000 m, sajian pemandangan yang sangat indah, dengan udara yang sangat dingin, meskipun jaket yang saya kenakan sudah rangkap tiga tapi tetap tidak mengurangi rasa dingin yang seakan menusuk kulit itu, dan pengorbanan untuk sampai kesana, sungguh moment yang tak terlupakan.

Rasa dingin seakan sirna tatkala sang mentari muncul dari balik gunung di seberang sana, mulai dari ¼ bagian, ½ bagian, sampai matahari tersebut kelihatan bulat sempurna dengan cahayanya yang menyilaukan tapi lumayan menghangatkan tubuh. Subhanallah, hanya kata itu yang terus menerus saya ucapkan melihat adegan yang sungguh indah tersebut. Sungguh, betapa indahnya ciptaan Allah, setelah cahaya matahari muncul, tampaklah keagungan Allah dalam bentuk pemandangan alam yang mempesona, hamparan gunung berlapis-lapis, awan yang seperti lautan di antara tebing-tebing yang sangat tinggi, beratapkan langit penuh warna yang sangat cantik, dan cahaya matahari yang menembus awan seakan terlihat seperti senter raksasa.

Puji syukur, Alhamdulillah tak lupa kupanjatkan, karena selain diberi kesempatan untuk singgah ke tempat ini, menurut petugas di sana tidak semua turis yang datang bisa melihat sunrise, karena kondisi cuaca di sana yang tidak stabil, dimana kadang-kadang awan begitu tebal sehingga menghalangi kita untuk melihat sunrise. Semua ini terjadi atas izin Allah, bisa melihat ciptaan Allah yang begitu luas dan indah, membuat kita merasa kecil dan tak berarti, sehingga hilanglah semua kesombongan yang ada dalam diri kita.

Di Alishan, saya berkenalan dengan beberapa orang dari berbagai Negara, pertama saya berkenalan dengan Samiko dari Jepang. Dia datang ke Taiwan sendirian lho, hebat. Kami sempat foto bersama dan akhirnya dia pulang bareng dengan kami ke penginapan. Saat perjalanan pulang, di dalam kereta saya mendengar ada yang berbicara logat Jawa, saya dan teman saya langsung mencari-cari asal suara itu, ternyata benar ada orang Indonesia juga yang lagi jalan-jalan ke sini. Kami sempat berkenalan, ternyata dia tinggal di Bekasi, dia sedang berlibur bersama keluarganya ke Taiwan. Terus, kami juga berkenalan dengan Michael dari Hongkong, sayang kami tidak bisa ngobrol lama karena kami mau melanjutkan perjalanan ke tempat yang berbeda jadi kami berpisah di stasiun. Namun, kami bertukar alamat email supaya bisa tetap keep in touch setelah pulang nanti. Lalu, kami bertemu dengan suami istri dari Jerman, mereka bilang kalau di Taiwan dinginnya tidak seberapa dibanding di Jerman. Winter di Negara-negara Eropa bisa sampai -25 derajat, wow. Makanya, rata-rata kalau lagi winter mereka lebih memilih untuk jalan-jalan ke Asia.

Sebenarnya saya ingin keliling Alishan, tapi berhubung waktu yang sempit karena harus segera berangkat ke tempat yang lain jadi saya hanya sempat jalan-jalan dan foto-foto di dekat penginapan saja. Sebelum pulang, tak lupa pamitan dengan bapak yang sudah mengijinkan kami menginap di Visitor Center. Walaupun belum puas berada di Alishan, tapi saya harus segera pergi untuk menuju Kaohsiung, ya mudah-mudahan next time bisa ke sini lagi dan bisa lebih lama, Amin.

Dari Alishan, saya menggunakan bus ke Chiayi, nah dari Chiayi menuju Kaohsiung dengan menggunakan kereta cepat. Sebelum ke stasiun, kami mencari koper dulu, setelah memilih-milih tempat akhirnya kami memilih untuk ke RT-Mart (semacam Hypermart gitu deh). Tapi karena koper yang saya inginkan tidak ada, saya memilih untuk membeli roda saja untuk pengganti sementara supaya kopernya bisa ditarik, setidaknya koper itu tidak terlalu merepotkan ketika kami jalan-jalan J. Setelah masalah koper selesai, kami mampir sebentar di wo ce can untuk membeli teh. Teh di sini terkenal enak, saya memilih liu cha (green tea), sementara teman saya memilih milk tea, di dalam teh ada semacam nata de coco, seger banget deh. Kemudian, kami segera menuju stasiun untuk pergi ke Kaohsiung.

Kaohsiung

Perjalanan ke Kaohsiung tidak memakan waktu terlalu lama, sekitar 2 jam. Tempat wisata pertama yang ingin saya datangi di Kaohsiung adalah pantai di daerah Sijihwan. Untuk sampai kesana, kami naik MRT dari Kaohsiung Main Station. Nah, di Kaohsiung Main Station juga ada loker tempat kita menitipkan barang, jadi saya tidak perlu repot membawa koper yang berat ketika jalan-jalan ke pantai J.Ternyata MRT di Kaohsiung lebih bagus daripada di Taipei (hampir seperti MTR di Hongkong), memang di Taiwan ada 2 kota besar yaitu Taipei dan Kaohsiung. Menurut saya, seharusnya Kaohsiung yang jadi ibukota Negara karena lebih maju dan disini ada bandara internasional juga. Sementara di Taipei tidak ada bandara internasional (adanya di Taoyuan, 1 jam dari Taipei), tapi banyak tempat-tempat bersejarah dan ada Taipei 101 kali ya J.

Udara di Kaohsiung tidak terlalu dingin seperti di Chiayi, mungkin karena di sini daerah selatan yang dekat dengan pantai, jadi meskipun winter, udaranya tetap tidak terlalu dingin apalagi siang hari. Sampai di Sijihwan, kami sedikit bingung rute ke pantai. Akhirnya kami bertanya dengan segerombolan anak SMA yang sedang duduk-duduk di pintu masuk MRT. Untungnya salah satu di antara mereka ada yang bisa sedikit bahasa Inggris, Kevin namanya, ternyata dia pernah tinggal di Hawai selama kurang lebih 2 tahun. Mereka dengan ramah menunjukkan jalan menuju pantai, bahkan akhirnya mereka mengajak pergi bersama karena kebetulan mereka juga ingin pergi kesana. Wah, senangnya, sangat mengasyikkan pergi bersama anak-anak muda, terlihat mereka sangat gaul, dan mereka juga sangat ramah, tidak merasa aneh dengan pakaian kami yang notabene berjilbab.

Sebenarnya untuk ke pantai, setelah keluar MRT bisa naik bus, tapi karena kami beramai-ramai, lebih asyik jalan kaki, karena tidak terlalu jauh juga, sekitar 300 m. Sepanjang perjalanan pun kami asyik mengobrol terutama dengan Kevin yang sedikit bercerita tentang keluarganya yang pernah tinggal di Hawai dan tentang Taiwan, walaupun kadang-kadang pembicaraan kami terhenti karena dia tidak tahu bagaimana mengatakannya dalam bahasa Inggris J. Akhirnya kami sampai di pelabuhan, jadi untuk sampai ke pantai, kita harus menyebrang dahulu menggunakan kapal ferry. Untuk naik kapal ferry, kita harus membayar dengan uang koin 50 NT atau dengan kartu magnetic (seperti kartu flazz gitu), berhubung kami tidak punya uang koin apalagi kartu magnetic itu, akhirnya Kevin membantu membayarkan kami, wah baik sekali, xie xie Kevin J.

Setelah menyebrang, kami berjalan kaki lagi sekitar 200 m dan sampai lah kami di pantai. Kemudian, kami berpisah dengan Kevin dan teman-temannya karena mereka masih menunggu seorang temannya dan mau keliling pantai dengan bersepeda. Sementara saya dan Astri, harus segera mencari tempat untuk shalat karena sebentar lagi maghrib dan kami belum sempat shalat ashar. Kami pun berpamitan dan bertukar nomor handphone karena Kevin berjanji setelah dari pantai ini,malamnya akan mengantarkan kami ke night market yang terkenal di Kaohsiung untuk membeli souvenir.

Setelah berkeliling mencari tempat untuk shalat, akhirnya kami mendapatkan tempat di tempat mainan anak-anak yang terbuat dari kayu (tempatnya agak naik, jadi insya Allah aman dari najis, karena banyak anjing yang berkeliaran di pantai tersebut) dan kami pun shalat dengan beralaskan koran. Memang benar, sebagus-bagusnya negeri orang lebih enak tinggal di negeri sendiri. Meskipun saya senang di Taiwan dan ingin tinggal disini, tapi kalau memikirkan sulitnya untuk shalat, jadi sirna keinginan tersebut J. Soalnya selama di Taiwan (juga waktu di Hongkong), sangat sulit mencari tempat untuk shalat, bahkan untuk wudhu.

Enak sekali rasanya, shalat di pinggir pantai, hembusan angin pantai, sayangnya tidak bisa melihat sunset karena cuaca saat itu sedang tidak bagus. Saya juga tidak sempat berkeliling ke semua tempat di Sijihwan ini, saya hanya sempat sampai di Cijin Beach karena sampai disini sudah hampir maghrib, selesai shalat sudah gelap, tidak terlihat lagi pemandangan pantai. Hanya tarian air mancur yang bisa menjadi hiburan. Lalu, teman saya mendapat telepon dari Kevin yang meminta maaf tidak bisa mengantar kami ke night market karena sudah diminta pulang oleh ibunya. Mei guan xi Kevin, xie xie, zaijian.

Setelah puas jalan-jalan di Cijin Beach, kami langsung menuju tempat berikutnya yaitu Ai He atau Love River. Setelah bertanya ke beberapa orang, akhirnya kami bisa sampai juga disana dengan menggunakan bis yang juga searah dengan Kaohsiung Main Station. Sampai di Ai He sudah malam jadi mulai sedikit dingin tapi masih kuat lah karena tidak sedingin di Chiayi apalagi Alishan. Ai He, sebenarnya tempatnya biasa tp memang suasananya romantis, pantes aja dinamakan Ai He alias Love River, cocok buat yang lagi bulan madu :). Disini banyak restoran, lalu ada wisata air dengan menggunakan perahu untuk keliling sungai yg panjang sekali (biaya yang dikenakan sebesar 80 NT per org). Tapi kami tidak jadi mencoba wisata air tersebut karena antriannya panjang sekali. Akhirnya kami hanya mencari tempat duduk di pinggir sungai sambil menikmati makan malam.

Hari yang sudah malam, sementara kami harus ke Taipei karena besoknya saya harus kembali lagi ke Hongkong, akhirnya kami pun memutuskan untuk langsung menuju Kaohsiung Main Station (tidak jadi membeli souvenir di night market). Setelah mengambil koper, kami pun langsung mencari tiket kereta ke Taipei, ternyata kereta terakhir ke Taipei sudah lewat, akhirnya kami mencari bis dan Alhamdulillah kami dapat bis ke Taipei yang berangkat jam 22.00. Di perjalanan, karena sudah lelah kami pun tertidur, diperkirakan kami akan sampai Taipei jam 3 pagi.

to be continued...

Taiwan (Day 2)

Day 2 in Taiwan

Esok harinya, adalah tempat yang paling saya ingin kunjungi di Taiwan, yaitu Alishan (Mount Ali) National Forest Recreation Area. Tempat ini terkenal dengan sunrise dan sunset nya yang sangat indah, juga clouds sea, hutan, dan mountain train (lihat di drama seri Taiwan, tempatnya bagus banget, akhirnya kesampaian juga kesini). Berhubung ingin melihat sunrise, jadi saya harus menginap di Alishan. Sebelum berangkat saya mencari informasi penginapan dulu. Setelah menelepon ke beberapa penginapan, termasuk yang ada di film he..he..he.. ternyata harganya cukup mahal juga untuk semalam. Tapi, nekat aja deh yang penting sampai sana dulu baru cari penginapan. Lalu, info dari Shinta, teman sekamarnya teman saya, di Alishan dinginnya bisa sampai 3 derajat dan menurutnya, jaket yang saya pakai tidak akan cukup untuk menahan dinginnya. Yah, harus beli jaket dulu deh sebelum ke sana.

Akibat Salah Info

Informasi di internet, bis ke Alishan terakhir jam 15.10, jadi saya bisa jalan-jalan dulu di sekitar Chiayi sekalian mencari jaket. Ketika keluar dari asrama, koper saya rodanya rusak, waduh ada ada-ada aja deh, segala roda rusak alhasil harus nenteng-nenteng koper deh, untung teman saya mau bantuin jadi nentengnya berdua. Ketika menunggu taksi di depan asrama, teman saya sempat bertanya kepada penjaga asrama tentang Alishan, dan ternyata dia malah menawarkan penginapan di sana dengan biaya yang sangat murah, karena penginapan itu punya temannya, dia akan menghubungi temannya itu kalau kami akan pergi dan menginap di sana, wah senang sekali, Alhamdulillah.

Sebelum ke terminal bus, kami pergi ke pasar Wan Wa Lu dulu untuk membeli jaket dan koper untuk ganti koper saya yang rusak, namun saya hanya sempat mencari jaket karena harus mengejar bis ke Alishan, jadi cari kopernya nanti saja habis dari Alishan deh. Sampai di terminal jam 14.20, ternyata bis terakhir ke Alishan sudah berangkat jam 14.10, waduh salah informasi nih, informasi dari internet kurang akurat ternyata, padahal cuma telat 10 menit, wo nan guo...so sad.

Sempat bingung bagaimana caranya bisa ke Alishan, tapi karena pengen banget ke sana, terpaksa harus menggunakan taksi dengan biaya 1500 NT (sekitar 500 ribuan, padahal kalo naik bis cuma 200 NT atau 70 ribuan), ya…pengeluaran membengkak nih, mau gimana lagi…lanjut, meskipun bingung belum lagi nanti biaya penginapan yang belum tau berapa harganya, benar-benar nekat. Tapi, mungkin karena pengen ngerasain perjalanan ke Alishan seperti yang di film, makanya dikasihnya naik taksi (di film yang saya lihat, pemainnya pergi ke Alishan dengan menggunakan taksi he..he..he..).

Tapi, memang ya di tengah kesulitan itu pasti ada kemudahan, benar saja, memang Allah Maha Adil J. Di tengah perjalanan, temanku mendapat telepon dari penjaga asrama tadi, katanya kita bisa menginap di tempat temannya itu GRATIS, Alhamdulillah, penghematan J. Dari Chiayi ke Alishan memakan waktu sekitar 2 jam, sepanjang perjalanan, sempat tertidur sih karena cape dan udara dingin yang bikin ngantuk, tapi setengah perjalanan saya terbangun dan ternyata kami sudah berada di ketinggian dengan pemandangan yang sungguh menakjubkan. Tebing-tebing dan gunung berlapis, walau agak ngeri karena berada di ketinggian lebih dari 1000 m, cukup untuk membuat saya tidak ingin tertidur karena tidak ingin melewatkan pemandangan yang indah ini.

Oiya, supir taksinya perempuan lho, di sini ternyata banyak perempuan yang jadi supir taksi, sayang bahasa Inggrisnya kurang bagus jadi kami tidak bisa mengobrol terlalu banyak (supir taksi di Taiwan rata-rata tidak bisa bahasa Inggris jadi kalau mau ke Taiwan harus siap-siap mencatat alamat yang ingin kita tuju dalam bahasa Mandarin kalau ingin menggunakan taksi), tapi ternyata temannya penjaga asrama itu adalah temannya juga, bagus lah jadi dia tau dimana tempat penginapannya, kami ga perlu susah-susah mencari alamatnya, karena di Taiwan kalo kita ga tau alamat jelas, apalagi buat kita yang ga mahir bahasa Mandarin, akan sulit sekali.

Alishan

Akhirnya sampai juga di Alishan, untuk masuk ke area wisata ini kita dikenakan 150 NT per orang. Ternyata, temannya penjaga asrama temanku itu adalah salah satu pengurus di Alishan. Kami diberi kamar di Visitor Center dengan gratis, orangnya pun sangat ramah, dia menjelaskan sedikit tentang Alishan dan tempat yang bisa kami kunjungi termasuk kalau kami ingin melihat sunrise besoknya. Lalu dia memanggil salah satu karyawannya untuk mengantar kami ke Visitor Center, pelayanannya pun cukup baik. Kami menempati salah satu kamar di lantai 1 Visitor Center, kamarnya ternyata cukup luas untuk kami berdua, sebenarnya bisa untuk 3 bahkan kalau mau ber-5 juga bisa, biar lebih hangat karena di kamar pun dinginnya berasa banget he.. he..he... Kamarnya mungkin tidak sebagus di hotel, tapi cukup nyaman untuk kami mahasiswa atau mungkin para backpacker yang dananya terbatas.

Berhubung kami sampai di sana sudah sore, jadi kami hanya bisa berjalan-jalan di sekitar Visitor Center, disitu ada kantor pos, restoran, supermarket, tempat membeli souvenir (ternyata ada salah satu penjual souvenir disini yang orang Indonesia). Setelah melihat-lihat dan membeli beberapa souvenir, kami pun merasa lapar karena udara yang begitu dingin, setelah memilih-milih akhirnya kami makan malam di supermarket, karena tidak aman makan di restoran jadi kami memilih makanan beku siap saji dengan menu vegetarian atau seafood. Pokoknya selama di Taiwan kami jadi vegetarian deh karena sulit sekali jika kita ingin makan daging, rata-rata mereka menjual pork alias babi, jadi yang aman ya vegetarian food. Namun, udara semakin dingin, makanan dan minuman hangat ternyata tetap tidak mengurangi rasa dingin yang menjalar ke seluruh tubuh, jadi kami memutuskan untuk kembali ke kamar. Harus tidur lebih awal agar tidak kesiangan melihat sunrise.

Taiwan (Day 1)

Taiwan, ini adalah salah satu Negara yang dari dulu ingin saya kunjungi. Desember 2008 lalu saya bersama SNADA dan Rina Gunawan Alhamdulillah mendapat kesempatan berkunjung ke Hongkong untuk mengisi acara Pelangi Muslimah Hongkong. Bagi Snada, ini adalah kali kelima mereka pergi ke Negara yang terkenal dengan sebutan Hutan Beton itu, sementara bagi saya dan teh Rina, sapaan akrab untuk Rina Gunawan, ini adalah kali yang pertama. Begitu ada kepastian berangkat, saya langsung terpikir, kenapa tidak sekalian saja ke Taiwan, bukankah jarak Hongkong – Taiwan cukup dekat sehingga bisa menghemat biaya tiket dan biaya fiskal (mumpung lagi di luar Indonesia, sayang kalo cuma berkunjung ke satu Negara J) dan kebetulan ada teman yang sedang kuliah S2 di sana. So…let’s go to Taiwan.

Bandara Hongkong

Jadi, begitu acara di Hongkong selesai, Snada dan teh Rina pulang ke Jakarta, Saya melanjutkan perjalanan ke Taiwan. Walaupun agak sedikit nekat, namun keinginan yang sangat untuk mengunjungi tempat yang terkenal dengan sebutan Negara Formosa tersebut membuat saya memberanikan diri untuk pergi ke sana sendirian. Berhubung baru pertama kali ke Hongkong, hampir saja saya ketinggalan pesawat ke Taipei. Ternyata bandara Hongkong itu luas banget dan rame, emang bener deh kalo orang bilang bandara Hongkong itu bandara tersibuk di dunia.

Pesawat ke Taipei ada di gate 33, boarding jam 15.00, saya pikir tempatnya tidak terlalu jauh karena saya sudah mengecek dimana pintu masuknya berada, jadi setelah check in saya makan siang dulu, baru jam 14.30 saya masuk ke tempat boarding, Subhanallah…ternyata di bagian imigrasi antrian panjang sekali, wah bisa telat nih. Tas saya pun melewati pemeriksaan yang sangat ketat, sampai harus mengulang 3 kali melewati sensor karena petugasnya penasaran, saya jadi berpikir, memangnya saya bawa benda berbahaya apa sampai harus 3 kali diperiksa.

Setelah melewati pemeriksaan, saya terpaksa sedikit berlari sambil menarik koper, ternyata saya harus turun 2 lantai, setelah itu masih harus naik kereta (Subhanallah di dalam bandara ada keretanya juga, baru sadar kalo bandaranya luas banget), mana ketinggalan kereta, di papan pengumuman sudah final call untuk pesawat ke Taipei, bikin panik dan berdoa jangan sampai ketinggalan pesawat. Alhamdulillah 3 menit kemudian ada kereta lagi, turun dari kereta harus naik 1 lantai, dan akhirnya sampai juga di gate 33, dan ternyata masih antri untuk masuk ke pesawat, Alhamdulillah tidak jadi ketinggalan pesawat J.

Day 1 in Taiwan

Pemandangan dari pesawat menuju Taiwan…Subhanallah bagus banget deh, biasa… tidak pernah lupa untuk mendokumentasikan setiap view yang bagus-bagus. Sebenarnya takut ketinggian, tapi demi melihat dan mendapatkan hasil foto yang bagus, harus dilupakan sejenak phobia ketinggiannya. Di sebelah saya ada seorang wanita yang memang orang Taiwan, dia sangat ramah dan baik. Namun, dia bilang bahasa Inggrisnya tidak bagus, jadi saya tidak bisa banyak bertanya tentang Taiwan padanya, kami hanya bicara seadanya karena bahasa Mandarin saya pun terbatas J.

Kemudian, makanan pun tiba, padahal sebelum berangkat sudah lunch di airport, tapi mungkin karena udara yang dingin jadi bikin cepet laper J. Menunya adalah chicken sandwich, tapi tanpa saus, waduh mana saus yang saya bawa dari Indonesia sudah habis sewaktu di Hongkong dan tadi tidak sempat beli lagi di Chandra minimart (warung Indonesia di Hongkong gitu deh), susah deh kalau ke Cina, pada ngga doyan pedas kali ya, susah banget cari saus sambal, ada sih di beberapa tempat yang jual tapi rasanya aneh, kurang sreg lah di lidah kita orang Indonesia. Mana enak makan sandwich tanpa saus, tapi terpaksa lah dimakan, lagi laper meskipun agak sedikit eneg J.

Akhirnya, sampai juga di Taoyuan airport, sudah hampir maghrib, kesan pertama yang saya rasakan, Taiwan begitu sepi tidak seperti di Hongkong yang seperti lautan manusia, semakin malam semakin banyak manusia keluar untuk sekedar jalan-jalan. Bandara juga sepi dan tidak seluas bandara Hongkong tentunya. Taiwan lagi gencar-gencarnya meningkatkan tourismnya, jadi di bandara pun banyak billboard yang memajang foto artis-artis Taiwan. Terutama foto F4 (yang terkenal lewat drama seri Meteor Garden itu lho, yang jadi fenomenal banget dan membuat Negara Taiwan terkenal dimana-mana), yang memang jadi duta pariwisata di Taiwan. Bahkan Taiwan pun sampai membuatkan sebuah drama seri yang diperankan oleh F4, judulnya Wish to See You Again (ini dia film yang bikin saya terprovokasi banget untuk datang ke Taiwan) dengan iklannya yang memakai F4 sebagai model dan tagline “Wish To See You in Taiwan”.

Di drama seri ini diperlihatkan tempat-tempat wisata Taiwan yang bagus-bagus banget, bikin kita tergoda deh untuk pergi ke sana, apalagi tempat yang namanya Alishan. Kayaknya Indonesia juga harus bikin film kayak gitu, biar bisa menarik wisatawan asing, secara tempat wisata di Indonesia lebih banyak dan tidak kalah bagus juga. Tapi, ceritanya juga harus bagus supaya orang-orang di luar negeri sana tertarik untuk nonton filmnya seperti film Taiwan tersebut. Akhirnya sampai juga di bagian imigrasi, lumayan mengantri, saya lihat beberapa turis yang datang ada yang dari Korea, Jepang, Inggris, dan saya dari Indonesia tentunya.

Berhubung lagi winter, udara di Taiwan dingin banget, lebih dingin dari pada di Hongkong, meskipun sudah mengenakan 2 jaket, tetap saja kedinginan. Begitu keluar dari bagian imigrasi, teman saya belum nampak batang hidungnya, lumayan lama menunggunya, saya pikir dia tak jadi menjemput, wah…harus melanglang buana sendirian nih di negeri antah berantah ini. Alhamdulillah, akhirnya dia muncul juga, Astri namanya. Sebelum ke asrama Astri, di National Chiayi University yang berada di daerah Chiayi (sekitar 5 jam dari Taoyuan), kami mampir dulu ke Taipei, karena jarak Taoyuan – Taipei lebih dekat (cuma 1 jam), supaya tak membuang waktu dan saya ingin sekali melihat Taipei 101 di malam hari. Akhirnya kami pun naik bis ke Taipei Main Station (Taoyuan –Taipei dengan menggunakan bis harganya sekitar 100 NT) untuk melanjutkan perjalanan ke Taipei 101 dengan MRT (kereta bawah tanah).

Loker di Taipei Main Station

Di Taipei Main Station disediakan loker untuk menaruh barang bawaan kita supaya tidak ribet dan bisa jalan-jalan dengan santai, wah asyik banget. Cukup membayar dengan uang koin (jumlahnya tergantung ukuran loker yang kita sewa, sekitar 20 – 100 NT), nah disini sudah ada alatnya, tinggal pilih loker nomor berapa, terus masukkan koin sejumlah harga yang tertera, tutup pintu lokernya (otomatis akan terkunci setelah kita masukkan koin), lalu kita akan dapat struk yang berisi nomor kode untuk membuka loker kita nanti. Tapi, sayangnya, loker ini hanya berlaku untuk 3 jam (setelah 3 jam, pintu loker akan terbuka dengan sendirinya), jadi kita harus kembali ke loker sebelum 3 jam, kalau masih ingin jalan-jalan lagi dan ingin menitipkan barang bawaan kita, ya harus bayar lagi untuk 3 jam berikutnya.

Setelah menitipkan koper, saya langsung mengajak teman saya ke tempat yang paling terkenal dan merupakan kebanggaan warga Taiwan itu, apalagi kalau bukan the world’s tallest completed building on earth since 2004 dengan ketinggian 509 m, Taipei 101 (yi ling yi) yang biasa saya lihat di drama seri Taiwan (akhirnya bisa lihat aslinya). Untuk sampai ke tempat ini, saya menggunakan MRT dan turun di Taipei City Hall dengan harga tiket 20 NT. Sebenarnya, dari Taipei City Hall bisa menggunakan bus atau ada juga free shuttle bus yang memang disediakan gratisan oleh pihak mall sebagai service mereka, namun saya dan teman saya memilih untuk berjalan kaki, karena ingin mengambil foto keseluruhan gedung dari bawah sampai atas (jadi harus mengambil foto dari tempat yang lumayan jauh dari gedungnya), sekaligus foto-foto di beberapa tempat dalam perjalanan ke Taipei 101.

Taipei 101

Gedung ini memang sangat menarik (terutama di malam hari), jika kita naik ke lantai 89 akan terlihat pemandangan seluruh Taipei. Untuk naik ke Taipei 101 ini, kita harus membayar sekitar 500 NT, itu pun baru sampai ke lantai 89, untuk naik ke lantai 90 ke atas harus membayar lagi di lantai 89 sebesar 100 NT. Wow, harga yang lumayan, harga barang-barang di Taipei 101 ini juga relative mahal. Oiya, gedung ini tutup jam 22.00, jadi kalau kita mau lihat pemandangan Taipei dari atas gedung ini jangan datang terlalu malam, sayang kan kalau udah jauh-jauh datang kesini tapi udah tutup atau sebentar lagi mau tutup, jadi tidak bisa berlama-lama di atas.

Taipei 101 memiliki keunggulan yaitu fiber optik dan hubungan internet satelit yang dapat mencapai kecepatan 1 gigabyte per detik, makanya gedung ini menjadi salah satu pencakar langit yang paling maju yang pernah dibuat sampai sekarang. Toshiba telah menyediakan dua lift tercepat di dunia yang dapat mencapai kecepatan maksimum 1.008 meter per menit (63 km/jam atau 39 mil/jam) dan mampu membawa pengunjung dari lantai dasar ke lantai pengamat di lantai 89 dalam waktu 39 detik. Sebuah pendulum seberat 800 ton dipasang di lantai 88, yang menstabilkan menara ini terhadap goyangan yang timbul dari gempa bumi, angin topan maupun gaya geser dari angin. Wow, sungguh menakjubkan, Alhamdulillah bisa melihat langsung Taipei 101 yang terkenal itu.

Lost in Taipei Main Station (Dimana koperku???)

Setelah mengunjungi Taipei 101, saya kembali ke Taipei Main Station untuk mengambil koper saya yang tadi dititipkan. Niatnya sih mau langsung ke Chiayi, soalnya udah malam dan pengen cepet istirahat di bis. Namun, niat itu terpaksa buyar karena kami lupa dimana loker tersebut berada. Ternyata Taipei Main Station itu begitu luas dan temanku belum hapal betul daerahnya, alhasil kami harus keliling-keliling mencari letak loker tersebut (mana kaki udah pegel banget habis jalan kaki pulang pergi ke Taipei 101). Tanya ke beberapa orang yang lewat, tak ada yang bisa bahasa Inggris, sementara bahasa mandarin kami pun pas-pasan, ya…ngga nyambung deh.

Alhamdulillah, akhirnya kami bertemu dengan seorang wanita cantik yang ramah, bernama Angela (nama cinanya tidak hapal he…he..he..) yang bersedia membantu kami dan bahkan menemani kami sampai ke loker tersebut, wah baik sekali. Akhirnya, ketemu juga tuh loker, Alhamdulillah, tak lupa berterima kasih juga kepada Angela dan tukeran nomor telepon tentunya (siapa tau kita lupa lagi letak lokernya he..he..), xie xie Angela. Setelah mengambil koper, kami langsung menuju terminal bis, sempat panik karena dipikir bis ke Chiayi sudah tidak ada lagi karena sudah jam 22.00, setelah mencari ke beberapa bis, akhirnya kami dapat juga bis terakhir ke Chiayi, harganya sekitar 300 NT.

National Chiayi University

Sampai di Chiayi jam 3 pagi, sepi banget karena emang termasuk daerah pedesaan. Udara yang sangat dingin, masih aja ada kejadian lucu, ternyata pagar asrama sudah ditutup, tak ada penjaga, tak ada orang lewat, kendaraan pun tak ada, tak bisa kemana-mana. Teman saya itu belum pernah pulang malam (selain memang tidak boleh juga sih karena kalau pulang malam bakal kena poin) jadi dia tidak tahu kalau pagar depan ternyata ditutup setelah jam 24.00. Sebenarnya udah niat mau manjat tembok (wah, bisa dikira maling nih), tapi tidak jadi he..he.. karena tidak pede. Di tengah kebingungan, tiba-tiba ada sebuah mobil berhenti di depan asrama, dan keluar lah seorang laki-laki. Teman saya pun langsung bertanya apakah dia mahasiswa sini, ternyata dia mahasiswa sini, sambil berjalan menuju pagar, mengeluarkan dompetnya, dan menempelkan ke alat sensor di dekat pagar, lalu terbuka lah pagar itu. Kami hanya bengong melihatnya, ternyata setelah ditanya, sebenarnya untuk membuka pagar itu bisa dengan kartu mahasiswa yang teman saya juga punya, Astri…please deh, kenapa tidak dari tadi, kan ga perlu sampai sok-sok an mau manjat tembok segala.

Teman saya itu memang baru tinggal di Taiwan sekitar 3 bulan, jadi wajar kalau belum paham seluk beluk disini. Perjalanan dari pagar utama ke asrama harus melewati beberapa gedung ruang kelas, gelap sekali, rada-rada takut sih soalnya cuma berdua, maklum selain takut ketinggian, takut gelap juga (banyak banget takutnya ya???). Gedung National Chiayi University memang gedung lama, dulunya adalah sekolah dasar yang kemudian dijadikan kampus, jadi tidak salah kalau bangunan ini terlihat tua, tapi meskipun gedung lama tetapi fasilitasnya cukup canggih, mulai dari pagar depan yang bisa dibuka dengan menggunakan kartu mahasiswa (modelnya mungkin seperti kartu Octopus di Hongkong atau seperti kartu flazz di Indonesia, tinggal tempelkan kartu ke sensor, bahkan tidak perlu mengeluarkan dari dompet, cukup dompetnya saja yang ditempelkan ke sensor), lalu lampu juga pake sensor, jadi lampu akan otomatis menyala begitu kita lewat, tapi rada-rada telat sih, lampunya baru nyala pas kita udah lewat jauh he..he..he.. akhirnya sampai juga di gedung asrama, tapi masih harus naik ke lantai 3 dan berhubung lift sudah mati jadi harus naik tangga deh, huhh cape bener. Dah gitu, ternyata di asrama ini lebih dingin lagi, langsung tidur aja deh J.

to be continued...